Dunia seakan kehilangan nuraninya. Siang dan malam hanya diisi oleh raungan kepedihan, ratapan pilu bersahut dengan tangisan yang tak lagi sanggup membentuk kata. Konon katanya, dunia menjunjung keadilan—namun kenyataannya, keadilan hanya tinggal mitos yang memudar dalam debu kehancuran. Mata sengaja dibutakan, telinga dipilih untuk ditulikan. Nyawa manusia tak lebih berharga dari debu di jalanan, seolah tak ada arti selain angka di laporan. Mereka yang lantang berseru tentang hak asasi manusia—ke mana mereka pergi? Mereka yang negerinya kuat, mampu, dan dekat—mengapa tak tergerak? Mereka yang mengaku saudara, kini hanya diam membisu, menjadi penonton bisu dari panggung tragedi paling kejam. Dentuman bom menggantikan nyanyian malam, menggulung rumah, harapan, dan tubuh-tubuh kecil yang bahkan belum sempat mengenal dunia. Tak ada tempat aman, tak ada waktu untuk doa yang khusyuk—hanya serpihan tubuh dan jiwa yang berserak, menyatu dengan ta...