Mataku terbelalak kaget saat melihat siapa yang kini berdiri di hadapanku. Daksaku spontan melangkah mundur perlahan. Aku gugup. Pandanganku menyapu sekeliling, kedua tanganku saling bertaut, dan jantungku berdetak tak karuan. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba menetralkan degup jantung yang kacau, berharap orang di hadapanku tak menyadari tingkah konyolku ini.
“Bisa geser sedikit?” Suaranya menggema di telingaku—suara yang selama ini selalu ingin kudengar. Di setiap menit, setiap detik, aku berharap bisa mendengarnya lagi dan lagi.
“Halo?” ucapnya sedikit lebih keras sambil melambai di depan wajahku. Aku tersentak dari lamunanku.
Sial! Betapa malunya aku bertingkah seperti orang bodoh di depannya.
“Ah, iya. Silakan,” kataku gugup. Aku segera menggeser tubuh, memberi jalan untuknya. Tanpa merespon dia langsung mengambil langkah dan saat ia melangkah melewatiku, tubuhnya berhenti tepat di sisiku. Lalu...
“Lucu.” Ujarnya pelan tapi masih bisa aku dengar.
Satu kata itu berhasil membuat seluruh aliran darahku seolah terhenti. Tubuhku mendadak lemas, dan suhu tubuhku melonjak seketika. Entah ditujukan untukku atau bukan yang jelas rasanya seperti jutaan kupu-kupu berterbangan di perutku. Rona merah menjalar hangat diwajahku. Aku salting!
Malam yang sunyi menyelimuti langit, hanya keheningan yang menemani saat aku duduk terpaku pada sebuah buku yang terbuka di pangkuan. Namun, tak sepatah kata pun benar-benar kuresapi. Pikiranku melayang jauh, menjelajah ke ruang-ruang kemungkinan yang rasanya mustahil terwujud. Aku bingung.
“Ya Tuhan… mengapa bisa seperti ini?” gumamku lirih, kedua tanganku merengkuh rambut, mengacaknya pelan, seolah mencoba meredakan kegundahan yang melanda.
Di tengah gelisah yang menghimpit dada, suara adzan menggema menembus keheningan. Merdu dan penuh seruan, seakan memanggil setiap jiwa untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, dan menghadap pada-Nya. Dari jendela kamarku, kulihat orang-orang mulai beranjak, melangkah menuju rumah ibadah. Tanpa sengaja, mataku menangkap sosok yang begitu kukenal—dia, lelaki yang nyaris kutabrak pagi tadi. Dia, yang entah bagaimana selalu berhasil membuat jantungku berdetak lebih cepat. Dia, yang kehadirannya saja mampu mengubah udara menjadi lebih panas, membuatku sesak oleh perasaan yang tak dapat kujelaskan.
Kupandangi dirinya dari balik kaca jendela, sosok yang berjalan pelan menuju masjid, tempat suara adzan tadi bergema. Pakaian rapi yang menutupi tubuhnya, lengkap dengan peci di kepala, memancarkan kharisma yang tak terbantahkan.
Setiap langkah kakinya seakan memiliki irama, pelan namun pasti. Entah mengapa, seiring langkahnya, pandanganku menjadi semakin jernih, namun hatiku justru terasa semakin kabur akan kenyataan. Dan pada satu titik, aku kembali tersadar—bahwa kami berasal dari dua dunia yang berbeda.
“Aku tidak bisa bersamanya,” bisikku lirih. Tanganku meraih dan menggenggam erat benda yang menggantung di leherku—sebuah simbol yang tak hanya menjadi bagian dari diriku, tetapi juga menegaskan siapa aku sebenarnya.
Mencintai bukan berarti harus memiliki.
“Kalimat klise dari mana lagi ini?” gerutuku pelan, sembari menutup novel romance yang sejak tadi sukses mengaduk emosiku. Kalimat itu menggantung di benakku, terasa menyakitkan sekaligus menggelikan. Mengingatkanku pada seseorang.
Kepalaku kutelungkupkan di atas kedua lenganku yang terlipat di meja. Di perpustakaan ini, hanya suara detak jam dinding yang setia mengingatkan bahwa waktu terus berjalan. “Kalau memang pada akhirnya tak bisa bersama, kenapa harus menyukai? Bukankah akhirnya hanya akan menimbulkan air mata?” keluhku lirih, teringat alur kisah toxic dalam novel yang baru saja ku baca. Seakan akan alur dalam cerita sesuai dengan hidupku.
“Tidak semua hal bisa berjalan seperti yang kita inginkan.”
Sebuah suara menginterupsiku. Suara itu—entah datang dari mana mengalun tenang di telingaku, membuatku sedikit terlonjak.
“Mana bisa begitu? Bukankah manusia diberi ambisi untuk dikejar? Segala sesuatu bisa diusahakan. Cinta dan perang—keduanya sama-sama butuh perjuangan,” sahutku, tanpa mengangkat kepala. Suaraku sarat emosi dan sisa amarah dari cerita yang masih membekas.
Terdengar helaan napas singkat dan suara buku yang dibalikkan. “Manusia memang sering kali berpikir dengan otak yang pendek,” ucap suara itu lagi, kali ini terdengar sedikit mengejek.
Tersinggung dan penasaran, aku spontan mengangkat kepala. Dan saat itu juga, mataku membelalak tak percaya akan siapa yang duduk di sebelahku.
Dia.
Ya dia, dengan tatapan tenang yang tersangkut pada baris-baris kalimat di bukunya, seolah dunia lain tak berarti. “Puncak tertinggi dari mencintai,” ujarnya, masih tanpa menoleh, “adalah merelakan dan mengikhlaskan. Jika kamu cukup berani untuk menyukai seseorang, maka kamu juga harus cukup kuat untuk menerima luka. Karena tak semua yang kamu cinta akan menjadi milikmu. Takdir tidak bisa dipaksa dan manusia tak punya kuasa untuk melawannya.”
Aku terdiam. Hening mengisi ruang antara kami. Kata-katanya menggema dalam hati. Lalu, dengan bodohnya sebuah keberanian datang pada diriku, aku bertanya perlahan…
“Tapi…apakah aku takdirmu?”
Komentar
Posting Komentar