Seorang anak berlari dengan kaki mungilnya, menyusuri jalan sempit yang membelah kampung sunyi. Tanah berkerikil mengaduk suara gemerisik setiap kali telapak sepatunya menjejak, namun tak sedikit pun menggoyahkan irama langkahnya. Nafasnya mulai memburu, dada kecilnya naik turun seiring tubuhnya yang terus dipacu. Seragam putih merah yang ia kenakan kini telah lembap oleh keringat, tapi matanya tetap tajam menatap ke depan—seolah setiap langkah punya arah, setiap lari punya tujuan.
“Hei, Aldo! Mau ke mana? Ayo main dulu!” teriak seorang anak lain dari kejauhan, memecah kesunyian sore.
Duk! Sebuah bola ditendang dan bergulir perlahan, berhenti tepat di hadapan Aldo.
“Ayo ke lapangan. Kita main bola!” ajaknya dengan wajah ceria.
Aldo hanya diam. Bola di depannya seperti tak punya daya tarik sedikit pun.
“Aku nggak bisa main hari ini, Andi. Aku harus cepat pulang,” ucapnya, menatap Andi dengan mata yang tak seperti biasanya.
Andi menautkan alis, bingung. “Kenapa?” tanyanya. Baginya, Aldo yang menolak bermain bola sama anehnya dengan langit yang menolak senja.
Aldo menggeleng pelan. “Besok aku cerita, Andi.” Tanpa menunggu jawaban, ia kembali berlari, meninggalkan Andi yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan kebingungan mengambang di matanya.
Setelah berlari cukup jauh, Aldo sampai di rumahnya. Sebuah tempat sederhana yang baginya adalah lebih dari sekadar bangunan—ia adalah pelabuhan, satu-satunya tempat yang selalu bisa ia sebut “pulang”.
“Bu! Ibu!” serunya dari teras.
Suryati, ibunya, menyahut dari dalam rumah. “Apa sih, Do? Jangan teriak-teriak begitu. Ini rumah, bukan hutan.”
“Bu, ini memang hutan, kan?” jawab Aldo polos, seolah tak sadar kata-katanya sarat makna. Ibunya memilih mengabaikannya. Ada hal-hal dalam kehidupan yang terlalu lelah untuk dijawab.
“Bu, televisinya udah bisa nyala belum?” tanya Aldo penuh harap, membuntuti ibunya yang sedang membawa keranjang cucian menuju halaman belakang.
“Ibuuu…” keluhnya lagi, nada memohon terselip di ujung suaranya.
“Belum, Do. Sinyalnya belum dapat. Bapakmu sudah coba perbaiki, tapi tetap saja tak bisa.” Jawaban ibunya meluncur datar, seperti air yang tak mampu menyejukkan dahaga. Ekspresi Aldo berubah seketika. Wajah yang semula berbinar meredup, bahunya turun seolah menanggung beban yang tak terlihat.
“Yah… kok belum juga, Bu? Bukannya udah dicoba diotak-atik sama Bapak?”
Suryati menghela napas, panjang dan berat. “Bapakmu itu bukan tukang servis, Do. Cuma bisa mencoba. Tapi mencoba tak selalu berarti berhasil, kan?”Aldo terdiam sejenak. Lalu suaranya keluar, pelan tapi penuh keinginan.
“Terus, gimana dong, Bu…”
“Gimana apanya?” tanya ibunya, mulai jengah dengan pertanyaan yang tak kunjung habis.
“Aku mau nonton, Bu. Hari ini ada siaran langsung debat pemilihan presiden. Aku pengin tahu siapa yang benar-benar pantas mimpin negeri ini.”
Suryati menatap anaknya, heran. “Untuk apa kamu nonton debat seperti itu? Kamu masih kecil, baru sembilan tahun. Bukan waktunya bicara soal pemilu.”
Namun di balik kekhawatirannya, Suryati tahu betul bahwa anaknya ini berbeda. Sejak kecil, Aldo tak pernah puas hanya dengan bermain. Ia selalu ingin tahu, selalu ingin mengerti. Politik, yang bagi anak-anak lain mungkin sekadar suara di televisi, bagi Aldo adalah sesuatu yang penting, yang menyentuh hidupnya dari sisi yang belum bisa dipahami sepenuhnya.
“Bu, itu penting. Kita harus tahu dan menilai sendiri mana pemimpin yang benar-benar tulus. Politik itu bukan cuma urusan orang dewasa, Bu. Politik itu menentukan segalanya—termasuk bagaimana aku sekolah, bagaimana Bapak kerja, bagaimana kita hidup. Tadi di sekolah aku belajar soal kepemimpinan. Kata Bu Guru, pemimpin sejati itu yang mencintai rakyatnya, bukan mencintai uang rakyatnya. Yang bisa menjaga negeri ini, dari Sabang sampai Merauke. Itu kenapa aku pengin nonton.”
Suryati tak langsung menjawab. Matanya menatap anaknya yang berdiri di hadapannya—masih kecil tubuhnya, tapi jiwanya seperti sudah tumbuh melewati umurnya.
"Itu semua bukan urusan kita, Do. Kita ini cuma rakyat kecil, apa yang bisa kita perbuat? Meski kamu sudah memilih yang benar, kalau banyak orang lain tetap memilih yang salah, lalu apa gunanya? Sia-sia, Do," ucap Suryati lirih, berusaha memberi pengertian kepada putranya.
. Aldo terdiam, kata-kata ibunya menggantung di benaknya. Nafasnya tertahan sejenak, lalu terdengar hembusan pelan—napas kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia ingin membantah, tapi tak menemukan alasan yang cukup kuat untuk menyanggah keyakinan ibunya.
"Sudah, sana makan dulu. Ibu masak ikan kesukaanmu,"ujar Suryati sambil mengelus lembut kepala Aldo, penuh kasih.
Dengan langkah gontai, Aldo berjalan menuju ruang makan sederhana milik keluarganya. Setelah mengganti pakaian dan mengisi perutnya yang kosong, ia beranjak ke lapangan di tengah kampung—tempat ia dan teman-temannya biasa melepas penat lewat permainan sepak bola.
Sesampainya di sana, ia melihat keramaian anak-anak yang tengah bermain dengan riang. Tanpa pikir panjang, Aldo melangkah masuk ke tengah lapangan, siap bergabung.
"Eitss... Katanya tadi kamu nggak bisa main?" suara Andi menghentikan langkah Aldo.
"Nggak jadi. Aku berubah pikiran," jawab Aldo singkat, tanpa menoleh. Tak menghiraukan Andi, Aldo langsung menendang bola ke arah gawang lawan, lalu mulai menggiring bola dengan lincah di antara pemain lain.
"Emangnya tadi kamu ke mana?" tanya Andi, yang kini berlari di samping Aldo, masih penasaran dengan kepergian temannya yang tiba-tiba tadi.
Aldo tetap diam. Ia memilih membiarkan Andi terus bertanya, seolah tak mendengar.
"Do, kasih tau dong. Kamu tadi ke mana sih?"
Aldo hanya memutar bola matanya, malas menanggapi. Ada beban dalam pikirannya yang tak bisa ia bagi, bahkan kepada Andi. Ia tahu, sebagian dari dirinya masih mencoba memahami dunia yang tak selalu masuk akal—dunia tempat kebenaran kadang kalah oleh suara mayoritas yang tak peduli.
"Ahhhh tunggu jangan bilang kamu tadi pulang cepat cepat karna mau nonton debat pemilu?" tebak Andi tepat sasaran.
"Wahhh pantas saja, tadi aku melihat ada banyak bapak bapak yang juga ikut berdebat di warung sana tadi. Mereka membahas itu, dan kamu tau apa yang aku dengar?" ujar Andi menggebu gebu memberitahukan apa yang sudah ia dengar.
Aldo hanya melirik sekilas dan menunggu Andi melanjutkan ceritanya.
"Katanya debat itu berjalan dengan panas, calonnya saling menjatuhkan dan menyindir-nyindir. Lalu... Apa tadi ya aku lupa yang jelas sih seperti itu."
Aldo terdiam. Ada rasa kecewa yang menyelinap diam-diam ke dalam dadanya. Ia menyesal tak sempat menyaksikan momen penting itu. Bagi Aldo, debat pemilu bukan sekadar tontonan orang dewasa. Itu adalah ruang belajar. Ia hanyalah seorang anak kecil dari desa yang sederhana, namun dengan impian yang menjulang tinggi. Ia menempuh pendidikan dengan sungguh-sungguh, membawa harapan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Menjadi presiden—itulah cita-cita yang selalu ia genggam erat. Baginya, memimpin bukan tentang kekuasaan, melainkan tanggung jawab untuk menjaga dan memajukan negeri. Miliaran rakyat bukan sekadar angka, tapi jiwa-jiwa yang menaruh harap pada satu sosok pemimpin. Ia selalu berdoa agar siapa pun yang kini memimpin, atau akan memimpin kelak, bisa menjadi contoh. Sosok yang jujur, adil, dan amanah. Aldo tahu, sebelum ia mendapat giliran untuk memegang tongkat estafet kepemimpinan, negeri ini harus terlebih dahulu dijaga oleh mereka yang layak. Dalam diam, Aldo berjanji pada dirinya sendiri: suatu hari nanti, jika Tuhan mengizinkan, ia akan berdiri di panggung itu. Bukan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk merangkul dan membangun.
Komentar
Posting Komentar